Destination of love
oleh Arifta Nurjanah & Arbaina Nurru H.
Salju mulai menutupi jalan-jalan di California. Malam yang gelap menjadi putih berselimut salju. Aku termenung dari jendela apartemenku, menatap luasnya hamparan salju yang indah dan menikmati suasananya. Pemandangan yang tidak akan mungkin ku jumpai di tanah kelahiranku, Indonesia.
Sudah hampir 4.5 tahun aku tinggal di sini. Menuntut ilmu di sebuah negeri asing. Jauh dari rumah dan jauh dari keluarga. Karena aku tinggal sendiri di sini, sering kali aku merasakan kerinduan yang dalam untuk keluargaku. Homesick yang sering melandaku di saat-saat seperti ini. Sendiri di malam yang sepi.
Memang, selama 4.5 tahun studiku di sini, belum sekali pun aku pulang ke Indonesia. Selain karena masalah biaya, aku memang ingin berkonsentrasi belajar. Aku juga tidak mau hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua. 4.5 tahun hidup di negeri orang membentukku menjadi sosok yang kuat dan mandiri. Jadi hanya teleponlah yang mengobati rinduku pada keluarga.
Tak terasa ini adalah tahun terakhirku di California. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan studiku. Selain itu aku sudah mengirimkan lamaran pekerjaan di salah satu perusahaan Indonesia. Tinggal menunggu pengumuman saja. Hmm. . . Aku sudah tidak sabar.
***
Dengan santai ku melangkah meninggalkan area universitas. Jarak universitas dengan apartemenku tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 1,5 km. Aku sudah terbiasa berjalan kaki saat berangkat dan pulang kuliah. Rasanya nyaman-nyaman saja. Karena memang jalan-jalan di sini tertata rapi untuk para pejalan kaki. Kalau di Jakarta, mana mungkin aku mau berjalan kaki. Selain panas dan banyak polusi, keamanannya juga tidak terjamin.
“Sheilla”, panggil seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh dan melihat siapa yang memanggilku. Ternyata Takumi Harada. Mahasiswa dari Jepang yang satu fakultas denganku. Dia telah menjadi temanku sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini. Mungkin karena kami sama-sama mahasiswa perantauan sehingga kami langsung akrab sejak pertama kali bertemu.
Takumi tampak terengah-engah. Sambil berlari dia menghampiriku. Badannya yang tambun itu agak memperlambat larinya.
“Taku, ada apa ?” tanyaku setelah dia berdiri di hadapanku.
“I just ask you to come at Tiffany’s birthday party.”
Tiffany adalah gadis Amerika yang sudah 6 bulan ini menjadi pacarnya. Nanti malam dia akan merayakan ulangtahunnya. Aku juga sudah mendapatkan undangan darinya.
“I know. She gave me invitation card last night.”
“Yeah. Will you come ?
“Of course,” jawabku.
“Ok. I’ll pick you up at 07.00 pm,” katanya.
Apartemen Takumi memang bersebelahan dengan apartemenku. Dia mempunyai mobil dan sering memberi tumpangan padaku. Takumi melihat jam tangannya.
“I must go now. I’ll buy gift for her. See you at 07.00 pm. Bye,” pamitnya sambil pergi ke mobilnya.
Aku meneruskan perjalanan pulang. Hmm. . . sepertinya aku juga harus buru-buru.
***
Pesta malam ini cukup ramai. Tiffany memang pandai memilih tempat untuk ulang tahunnya. Dia memilih sebuah kafe yang terkenal di daerah ini. Tempatnya lumayan luas dan nyaman. Aku mencari-cari Tiff, akhirnya aku melihatnya di salah satu kursi.
“Tiff.” sapaku.
“Hy, Sheilla. Thanks for coming.”
“Happy birthday,” kataku sambil memeluknya, “This is gift for you.” Aku menyerahkan kado yang dari tadi ku bawa.
“Thanks again.” Dia menerima kadonya dengan wajah gembira. “Well, enjoy this party.”
Kemudian aku berjalan ke arah meja untuk mengambil minuman. Tak ku sangka aku bertemu Mike di sana. Mike juga sama terkejutnya denganku. Hubunganku dengannya memang kurang baik sejak aku menolak cintanya beberapa bulan yang lalu. Sejak itu dia selalu berusaha menghindariku.
“Well,” katanya agak kikuk. “Aku pergi ke sana dulu.”
Dia langsung berjalan ke arah teman-temannya. Setelah dia pergi, aku duduk di kursi yang kosong. Dulu aku menolak Mike dengan alasan karena aku tidak ingin studiku terganggu. Sejujurnya ada alasan yang lainnya. Hatiku ini sudah ada yang menempati sejak bertahun-tahun yang lalu. Walaupun kisah yang kujalanani tidak berakhir indah. Namun sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku.
“Kenapa melamun ?” tanya Takumi mengagetkanku. Lalu ia duduk di sampingku.
“No, I don’t. Aku tidak melamun. Hanya sedang memikirkan sesuatu saja,” jawabku sambil tersenyum.
“I can’t believe it. Don’t you eat something ?”
Dari tadi aku memang belum mengambil makanan yang dihidangkan. Sedangkan Takumi mungkin sudah mencoba semuanya. Sekarang saja di hadapannya ada 3 potong chocolate cake.
“Aku sedang tidak lapar.”
“When will you back to Indonesia, Sheil ?” dia bertanya sambil mengunyah salah satu cake di hadapannya itu.
“Mungkin 2 atau 3 bulan lagi. Masih ada beberapa urusan yang harus ku selesaikan. Aku masih harus menyelesaikan skripsiku, menunggu untuk wawancara, mengurus administrasi dan surat-suratku. What a busy I am.” Aku membayangkan kesibukan yang akan kujalani pada hari-hari terakhir di sini.
“Aku juga sibuk. Ya, seperti kamu. Aku akan pulang ke Jepang sekitar 3 bulan lagi. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat ya. Rasanya baru kemarin kita bertemu dan berkenalan.”
Aku menganggukkan kepala. Semua hal yang terjadi di sini akan menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan. Aku akan merindukan semuanya. Saat-saat sibuk ujian, jalan-jalan sama teman, bahkan semua pekerjaan sambilanku. Sekarang ini aku memang sudah tidak bekerja sambilan.
“I’ll miss you so much. I hope we can meet again.”
“I hope so. Tapi kan Jepang ke Indonesia dekat. Kamu pasti bisa sering-sering main ke rumahku.”
“Kau pikir tiket Jepang-Jakarta murah ?” sungutnya.
Aku tertawa mendengarnya.
Yah… aku akan merindukan semuanya.
***
Hari-hariku terasa sangat sibuk. Berjam-jam aku mencari bahan referensi untuk skripsiku di perpustakaan. Aku juga harus duduk lama di hadapan computer mengetik berlembar-lembar bahan skripsi. Untung masalah administrasi di universitas sudah kuselesaikan. Kesibukanku pun agak berkurang.
Setelah sibuk beberapa lama, akhirnya skripsiku selesai juga. Aku pun cukup puas dengan hasilnya. Skripsiku sudah kukumpulkan sehari setelah aku menyelesaikannya. Aku juga sudah menjalani wawancara. Tinggal menunggu pengumumannya saja.
Hari ini aku berangkat ke kampus dengan Takumi, kami akan melihat pengumuman. Perjalanan dari apartemen ke kampus terasa sangat panjang. Aku sudah tak sabar mengetahui hasilnya.
“I’m so nerveous,” kataku pada Takumi.
“Me too.”
Aku tahu itu. Setiap Takumi merasa gugup dia akan menggerak-gerakkan tangannya. Kami terus berjalan menuju ruang informasi. Sesampainya di sana kami mendapatkan amplop. Dalam amplop itu, terdapat hasil kelulusan kami. Aku membuka amplop itu dengan harap-harap cemas. Setelah membukanya aku melompat kegirangan.
“Taku ! Aku lulus ! Aku lulus !” seruku sambil memeluknya.
“Aku juga lulus, Sheil !”
Setelah itu, kami merayakannya di restaurant dekat kampus.
“Congratulation !!!”
Betapa bahagianya kami berdua. Impian kami telah terwujud. Kami lulus dengan title cum laude. Perjuangan kami selama ini tidak sia-sia. Setelah ini aku hanya tinggal berjuang di negaraku.
Indonesia. . .
***
Malam harinya aku langsung menelepon keluargaku di Indonesia. Tak sabar rasanya aku menyampaikan kabar gembira ini pada mereka.
“Mama aku lulus cum laude !”
“Selamat ya, sayang. Mama sudah yakin kamu pasti bias,” kata mamaku dari ujung telepon. “Oh, ini papa mau bicara sama kamu.”
“Halo, Sheil.”
“Iya, Pa. Ada apa ?”
“Kapan kamu mau berangkat ke sini ?”
“Hari minggu besok, Pa. Semua urusan Sheilla di sini sudah selesai kok. Tiketnya juga sudah Sheilla beli dari kemarin-kemarin.”
Tiba-tiba suara di ujung sana berganti dengan suara kakakku, Raka.
“Sheilla, lamaran yang kamu kirim sudah diterima. Tinggal nunggu kamu pulang ke sini untuk mengurus kelengkapan lainnya,” kata Raka mengabarkan.
Kabar ini semakin menambah rasa bahagiaku. Rasanya ingin pulang ke Indonesia saat ini juga.
“Oh iya, kamu pulangnya hari Minggu kan ? kalau begitu pas. Soalnya hari Rabunya Putri mau nikah. Kamu kenal Putri kan ? Temen kakak yang sering main ke rumah itu lho .”
Aku terkejut mendengarnya. Ya, aku memang kenal nama itu. Sangat kenal malah. Nama itu membangkitkan kembali kenangan yang menyakitkan itu.
Beberapa tahun yang lalu . . .
Dendra Mahardika. Dia adalah teman baik kakakku. Sudah cukup lama aku mengenalnya. Orangnya tampan dan sangat baik. Awalnya aku agak kikuk bila berbicara dengannya. Namun lama-kalamaan kami berdua menjadi semakin akrab. Dan saat itulah benih-benih cinta tumbuh di hatiku. Sifatnya yang sabar menghadapi semua tingkahku membuatku mulai menyukainya. Selain itu dia juga sangat perhatian padaku.
Saat aku kelas 3 SMA, dia sering membantuku belajar. Ketika itu aku sangat sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian kelulusan. Kebetulan Dendra adalah seorang yang pandai. Saat dia sedang bermain ke rumah, aku selalu memintanya mengajariku. Caranya mengajar juga mudah ku mengerti. Sehingga nilai-nilaiku pun semakin baik. Maka Dendra pun menjadi guru privat tidak resmiku. Kalau biasanya dia ke rumah untuk bertemu Raka, tapi kemudian berubah untuk bertemu denganku. Walaupun sebenarnya untuk mengajariku belajar.
Semakin lama aku semakin menyukainya, kami juga semakin sering menghabiskan waktu berdua untuk sekedar berjalan-jalan. Dia juga memperkenalkanku pada teman-temannya, yang sebagian besar adalah teman kakakku. Waktu itu aku ingin sekali hubunganku dengannya semakin dekat. Hubungan yang lebih dari sekedar teman. Sikapnya padaku juga menunjukkan tanda-tanda itu.
Namun semuanya berubah, suatu hari saat aku sedang pergi ke salah satu mall untuk membeli buku dengan temanku, aku melihat Dendra. Awalnya aku senang melihatnya. Aku ingin memanggilnya. Tapi aku melihat ada seseorang wanita berjalan di sampingnya. Mereka berdua tampak sangat akrab. Bahkan wanita itu menggandeng tangan Dendra. Ternyata aku mengenal wanita itu. Dia adalah Putri Maheswari. Salah satu teman kakakku yang juga sering main ke rumah,
Kenyataan ini benar-benar menyayat hatiku. Sakit rasanya melihat mereka berdua. Aku pun membatalkan niatku untuk membeli buku. Sesampainya di rumah, aku mengurung diri di kamar. Air mata terus mengalir membasahi pipiku. Betapa bodohnya aku selama ini. Mengharapkan hubunganku dengan Dendra menjadi serius. Padahal tak mungkin Dendra menganggapku lebih. Karena baginya, aku hanyalah adik dari teman baiknya. Yang juga telah dia anggap sebagai adik sendiri.
Sejak saat itu, aku mulai menjauhkan diri dari Dendra. Aku tidak ingin merasakan sakit lagi. Setiap kali ia main ke rumah, aku pasti pergi atau mengurung diri di kamar. Alasanku adalah karena mengikuti banyak bimbingan belajar dan mempunyai banyak tugas. Kalau dia menawarkan diri untuk membantuku belajar, aku selalu menolaknya. Dia pun heran dengan perubahan sikapku. Suatu hari dia menanyakannya padaku mengapa sikapku berubah padanya. Aku hanya menjawab bahwa aku sangat sibuk mempersiapkan diri untuk ujian.
Setelah pengumuman kelulusan, aku langsung mengambil beasiswa ke California. Orang tua dan saudaraku tidak tahu alasan sebenarnya aku mengambil beasiswa itu. Mereka mengira aku memang sangat ingin menuntut ilmu di negeri itu. Padahal sebenarnya aku hanya ingin menghindari Dendra. Mungkin sepertinya aku seperti melarikan diri. Tapi aku tidak sanggup kalau harus terus-menerus melihat wajah Dendra. Lagian beasiswa ini juga penting untuk masa depanku kelak.
“Halo, Sheilla. Kamu masih di situ kan ?” tanya Raka membuyarkan lamunanku.
Tergagap aku menjawab, “I… ya kak. Sheilla cuma habis melamun kok.”
“Haduh, kamu itu. Jadi dari tadi kakak ngomong panjang lebar ternyata kamu tinggal melamun?”
“Maaf kakak.”
“Ya sudahlah. Kakak Cuma mau ngomong itu saja. Kamu jaga diri baik-baik. Wassalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aku menutup telepon. Ternyata berita ini masih menyakiti hatiku. Saat aku pulang ke Indonesia aku harus menghadapi kenyataan pahit ini. Putri akan menikah dengan Dendra.
***
Ku jejakkan kakiku setelah sekian lama, di tanah kelahiranku. Udara panas khas Jakarta langsung menyambut kedatanganku. Betapa rindunya aku dengan semua ini. Kuhirup nafas dalam-dalam. Masih banyak polusi seperti dulu. Justru semakin bertambah. Rencananya seluruh keluarga akan menjemputku. Kucari-cari sosok papa, mama, dan Kak Raka. Apa mereka lupa untuk menjemputku hari ini ? Sambil melihat jam di pergelangan tanganku, aku berjalan mondar-mandir.
“Sheilla !” panggil seseorang dari kajauhan.
Tampak papa, mama, dan Kak Raka menghampiriku.
“Kenapa terlambat sih ? aku sudah nunggu hampir setengah jam nih,” omelku.
“Sorry-sorry. Tadi kita salah tempat nunggu kamunya. Kita malah nunggu di kedatangan dalam negeri,” balas Raka memberi alasan.
“Sudahlah. Kan baru saja bertemu,” ucap mama melerai.
“Bagaimana kabarmu, sayang ?” tanya papa, “Kamu sehat kan ?”
“Kami semua benar-benar merindukanmu.”
Kemudian papa memelukku. Bergantian setelah itu mama dan Kak Raka. Senang rasanya bisa memeluk keluargaku seperti ini lagi.
Setelah itu kami semua berjalan menuju mobil di tempat parkir. Sepanjang perjalanan pulang, mama terus mengajakku mengobrol. Papa dan Kak Raka hanya sesekali saja ikut bicara. Perjalanan dari bandara sampai rumahku hanya 30 menit perjalanan naik mobil. Tapi kami sampai rumah setelah hampir 1 jam karena terjebak macet. Khas Jakarta, tiada hari tanpa macet.
Mobil memasuki kompleks perumahan. Dari kajauhan sudah tampak gerbang rumahku. Masih tidak banyak berubah. Halamannya masih hijau karena tanaman-tanaman yang dipelihara mama. Suasananya masih sama seperti saat sebelum ku tinggalkan dulu.
Home sweet home. . . I am coming !
***
Sehari setelah kepulanganku, seluruh keluarga besarku berkumpul di rumah. Eyang kakung dan eyang putri dari Bandung juga datang. Rumahku menjadi sangat ramai. Apalagi dengan adanya sepupu-sepupuku di sini. Mereka semua ingin menyambutku setelah hampir 5 tahun tidak bertemu. Setelah membagikan oleh-oleh yang kubawa dari California, aku banyak menghabiskan waktu dengan sepupu-sepupuku. Mereka sering mengajakku jalan-jalan keliling Kota Jakarta. Alasannya untuk mengingatkan kembali aku pada kota ini. Aku hanya tertawa mendengar alasan mereka itu.
Aku memang menjalani awal hariku di sini dengan bahagia. Hanya satu hal yang mengganjal hatiku. Hari pernikahan Putri dan Dendra yang dilaksanakan besok Rabu. Dan aku harus hadir di acara itu dengan menahan luka hati yang semakin manyayat perih.
***
“Sheilla, buruan !” seru kakakku dari lantai bawah.
Hari ini adalah hari pernikahan Putri dan Dendra. Aku akan berangkat menuju tempat pernikahan mereka dengan kakakku. Sampai saat ini aku belum sekali pun melihat undangan pernikahannya. Aku tidak sanggup melihat nama Dendra tercantum di undangan itu. Hari ini pun aku harus berusaha keras menjaga perasaanku saat mereka bersanding di pelaminan.
Mobil yang dikendarai Kak Raka melaju kencang menembus hiruk-pikuk Kota Jakarta. Kak Raka memang buru-buru karena kami sudah terlambat untuk menghadiri pernikahannya. Sepanjang perjalanan dia mengomeliku karena terlalu lama berdandan. Aku sama sekali tidak mendengarkan perkataannya. Pikiranku melayang jauh dari tempatku berada. Mataku memandang ke luar.
Akhirnya kami sampai ke tempat pernikahan. Di salah satu ballroom hotel ternama di Jakarta. Sambil menarik nafas panjang aku berjalan masuk ke dalam sambil menggandeng tangan kakakku. Wajahku terus menunduk ke bawah. Aku sampai tidak memperhatikan deretan para penerima tamu sepanjang pintu masuk. Saat sampai di depan pelaminan, aku mengangkat wajahku dengan berat hati. Bersiap-siap menerima kenyataan pahit ini. Tapi . . .
I am shocked !
Aku tidak mempercayai penglihatanku ini.
That’s so imposible !
Laki-laki yang berdiri di samping Putri itu bukan Dendra! Melainkan seseorang yang tidak kukenali. Lalu di mana Dendra ? Bukannya kekasih Putri itu Dendra ? Bermacam-macam pertanyaan muncul di benakku. Setelah mengucapkan selamat dan menyalami kadua pengantin itu, aku duduk di kursi yang terletak di pojok ruangan. Kak Raka sedang sibuk mengobrol dengan teman-temannya. Jadi aku hanya duduk sendiri.
“Sheilla.” Sapa seseorang disampingku.
Suara yang dalam ini sangat ku kenal. Aku mendongakkan kepalaku. Dendra telah berdiri disampingku. Sambil tersenyum dia duduk di kursi sebelahku yang kebetulan kosong. Dia telah berubah sejak terakhir kali aku melihatnya. Dia telah bertambah tinggi. Sekitar 183 cm. Wajahnya semakin tampan. Ia tampak gagah dengan sorjan yang ia kenakan. Sorjan yang sama seperti yang dipakai penerima tamu di pintu tadi.
“Sudah lama ya kita tidak bertemu.” katanya kemudian.
Aku hanya tersenyum mengiyakan.
“Sebenarnya aku ingin bertemu denganmu sejak kemarin. Tapi aku sibuk mengurus pernikahan Putri.”
Aku memberanikan diri bertanya, “Bukannya Putri itu pacar kamu ? Tapi kok . . .” aku tidak melanjutkan pertanyaanku karena tiba-tiba Dendra tertawa.
“Putri pacar aku ? Dari mana kamu punya pemikiran seperti itu ?”
“Emm. . . aku pernah liat kamu jalan sama dia di mall. Well, sudah lama juga sih.”
“Nggak mungkinlah aku pacaran sama dia. Putri itu sepupu aku. Tunggu dulu, apa ini alasan kamu menjauhiku dulu ?”
I’m speechless. Aku bingung ingin menjawab apa. “Aku tidak pernah menjauhi kamu kok,” kilahku.
Dendra tidak percaya perkataanku ini.
“Sheilla. . . Sheilla. Kok bisa-bisanya kamu berpikir begitu. Padahal kamu kan tahu kalau aku itu suka kamu.”
“Hah?” Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Dendra suka aku ?
“Masa kamu tidak bisa menebaknya sih. Aku selalu perhatian sama kamu, aku sering ke rumah kamu. Walaupun sebenarnya tidak ada alasan untuk aku datang. Don’t you realize it ?”
Aku memandang wajahnya, dia balik memandang wajahku dengan muka serius.
“Aku kira. . . aku kira kamu hanya menganggapku sebagai adikmu. Tidak lebih,” kataku akhirnya.
“Kamu salah, sekalipun aku tidak pernah menganggapmu sebagai adikku. Bahkan sejak pertama kali aku bertemu denganmu. Aku itu suka denganmu, sudah lama, Sheil. Jauh sebelum kita berdua akrab. Tapi aku memang agak takut bilang padamu. Aku takut perasaanku ini hanya bertepuk sebelah tangan,” ucap Dendra sambil memainkan tangannya.
“Kalau bagitu, kenapa selama aku di California kamu tidak pernah menghubungiku ?” tanyaku.
“Dulu aku pernah meneleponmu. Tapi kamu sedang pergi. Dan yang menjawab adalah laki-laki bernama Takumi.”
“Takumi ?” Aku mengingat-ingat kembali. Dulu memang dia pernah bilang padaku bahwa aku mendapatkan telepon saat aku pergi keluar untuk membeli makanan. Tapi dia tidak tahu siapa yang menelepon karena tidak memberi tahu namanya. Ternyata itu telepon dari Dendra.
“Ya. Saat itu aku marah, Sheil. Marah karena yang mengangkat teleponku adalah dia. I am jealous. Aku pikir kamu telah menjalin hubungan dengannya.”
“Takumi itu adalah teman baikku di sana. Dia tinggal di apartemen sebelahku. We are just a best friend,” terangku.
“Aku lega mendengarnya. Kamu tidak tahu rasanya selama ini menahan rasa cemburuku. Aku kira semuanya telah terlambat. Tapi pernyataanmu itu menghapus semuanya. Dan sekarang. . .”
Dia menggenggam tanganku. Aku terkejut dan mukaku memerah. Kulihat sekelilingku, takut bila ada yang memperhatikan kami berdua. Untunglah perhatian semua orang tertuju pada pengantinnya.”
“Dan sekarang kamu sudah ada di depanku. Aku tidak akan pernah lagi membiarkanmu pergi dariku. Sheilla Anindya Dewi, do you wanna be my girlfriend ?”
Dia menatapkan dengan tajam. Matanya masih menunggu jawaban dariku. Dan setelah semua kesalahpahaman berakhir, aku pun tidak bisa melakukan apapun selain menjawab, “Yes, i do.”
Dendra tersenyum dengan lembut.
Aku bersyukur semua dapat berakhir dengan indah. Kemudian dendra menggandeng tanganku dan membawaku ke arah keluarganya. Saat itu juga dia memperkenalkanku sebagai pacarnya.
***
Tak terasa sudah hampir 2 tahun aku menjalin hubungan dengan Dendra. Kedua keluarga kami sudah sangat dekat dan sangat mendukung hubungan kami ini. Rancananya kami akan menikah 1 tahun lagi. Setelah pernikahan kakakku dengan teman SMA-nya. Rasanya hidupku sudah terasa lengkap. And I know everything gonna be okay. I am sure about it.
*The End*